Biografi GKR Bendara
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara, yang sebelumnya bernama Gusti Raden Ajeng Nurastuti Wijareni adalah putri bungsu atau anak kelima dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas. Dia lahir pada tanggal 18 September 1986.
Pada kehidupan pribadinya, GKR Bendara telah resmi menikah dengan Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara pada 18 Oktober 2011. Melalui pernikahan tersebut keduanya telah dikaruniai dua anak. Anak pertamanya bernama Raden Ajeng Nisaka Irdina Yudhonegoro dan anak keduanya bernama Raden Mas Radityo Mandhala Yudo.
Di luar keraton, jabatannya cukup banyak, salah satunya adalah Wakil Ketua 3 KONI. Ia juga mengurusi usaha kecil menengah di bawah BKKBN serta usaha menengah-besar di bawah ICSB. Selain itu ia mengetuai PUTRI (Perhimpunan Pengusaha Taman Rekreasi Indonesia) dan duduk dalam Dewan Pertimbangan Tourism Board. Pariwisata memang menarik hatinya sejak mula. Setelah menamatkan pendidikan menengah di Singapura, ia memutuskan kuliah di jurusan International Hospitality and Tourism Management di IMI Switzerland. Ia memang meminati bidang-bidang praktis. Seperti mahasiswa lain, ia diwajibkan magang di dapur, restoran, dan hotel. Ia mengupas berkarung-karung kentang dan wortel. Saat bekerja di hotel, ia harus bangun jam empat pagi, lalu membersihkan kamar mandi hingga menyiapkan sarapan. Namun, ia menikmatinya. “Saya bawa enjoy karena saya paham dengan itu saya memiliki pengalaman. Saya sadar tidak mungkin ada orang yang mau memperkerjakan saya seperti itu di Indonesia dengan status saya.” Ia mematahkan anggapan bahwa putri keraton ‘tinggal duduk manis’. “Nggak, sejak berusia 17 tahun saya sudah kerja.” Demikian tutur putri Raja Yogyakarta yang pernah bekerja paruh waktu di perusahaan retail di Singapura semasa menamatkan bangku SMA.
Kuliah pascasarjana ia ambil di Edinburgh, Skotlandia, dengan konsentrasi warisan budaya. Padahal ia mengaku dulunya tak begitu menyukai pelajaran yang mengharuskan banyak membaca, termasuk sejarah. “Tapi saat S2, saya terjerumus di (jurusan) heritage tourism.” Tak pernah pula terlintas ia akan menyukai museum. “Mungkin karena sejarah ini berkaitan dengan saya, saya sangat berminat ke situ. Sekarang saya dituntut untuk membaca tentang sejarah saya, leluhur saya.” Ia menganggapnya sebagai kisah lucu dalam hidup, “Tidak terpikirkan, tapi ternyata terarah.”
Di luar keraton, jabatannya cukup banyak, salah satunya adalah Wakil Ketua 3 KONI. Ia juga mengurusi usaha kecil menengah di bawah BKKBN serta usaha menengah-besar di bawah ICSB. Selain itu ia mengetuai PUTRI (Perhimpunan Pengusaha Taman Rekreasi Indonesia) dan duduk dalam Dewan Pertimbangan Tourism Board. Pariwisata memang menarik hatinya sejak mula. Setelah menamatkan pendidikan menengah di Singapura, ia memutuskan kuliah di jurusan International Hospitality and Tourism Management di IMI Switzerland. Ia memang meminati bidang-bidang praktis. Seperti mahasiswa lain, ia diwajibkan magang di dapur, restoran, dan hotel. Ia mengupas berkarung-karung kentang dan wortel. Saat bekerja di hotel, ia harus bangun jam empat pagi, lalu membersihkan kamar mandi hingga menyiapkan sarapan. Namun, ia menikmatinya. “Saya bawa enjoy karena saya paham dengan itu saya memiliki pengalaman. Saya sadar tidak mungkin ada orang yang mau memperkerjakan saya seperti itu di Indonesia dengan status saya.” Ia mematahkan anggapan bahwa putri keraton ‘tinggal duduk manis’. “Nggak, sejak berusia 17 tahun saya sudah kerja.” Demikian tutur putri Raja Yogyakarta yang pernah bekerja paruh waktu di perusahaan retail di Singapura semasa menamatkan bangku SMA.
Kuliah pascasarjana ia ambil di Edinburgh, Skotlandia, dengan konsentrasi warisan budaya. Padahal ia mengaku dulunya tak begitu menyukai pelajaran yang mengharuskan banyak membaca, termasuk sejarah. “Tapi saat S2, saya terjerumus di (jurusan) heritage tourism.” Tak pernah pula terlintas ia akan menyukai museum. “Mungkin karena sejarah ini berkaitan dengan saya, saya sangat berminat ke situ. Sekarang saya dituntut untuk membaca tentang sejarah saya, leluhur saya.” Ia menganggapnya sebagai kisah lucu dalam hidup, “Tidak terpikirkan, tapi ternyata terarah.”
Hidup lekat dengan tradisi sejak belia, GKR Bendara tak serta merta menyadari keistimewaan yang dimilikinya. “Saya melihat itu sebagai acara keluarga biasa saja.” Baru setelah memulai sekolah di luar negeri, ia merindukan suasana khas itu, seperti upacara sungkeman dan pertunjukan tari. “Mulai kuliah saya benar-benar memahami kehidupan saya berbeda. Saya beruntung memiliki rumah yang dekat dengan kebudayaan jadi saya berusaha mengenalkannya pada anak-anak.”
Keistimewaan selalu datang dengan konsekuensi. GKR Bendara mengakui ada ketidaknyamanan ketika orang-orang berekspetasi terlalu tinggi. Ia seolah dituntut untuk selalu tampil sempurna dan terus menerus ramah. Ia kadang dicegat warga untuk diminta berfoto meski sedang capek dan bila menolak, warga akan mengecapnya sombong.
Namun ia berusaha memegang pesan Ngarsa Dalem, sayangilah orang yang sayang padamu dan cintailah musuhmu. “Gampang diucapkan, susah dijalankan, tapi harus dicoba,” tuturnya.
Komentar
Posting Komentar